Pataka Eja
No Result
View All Result
  • Login
  • Beranda
  • Cakrawala
    • Opini
    • Esai
    • Resensi
  • Sastra
    • Puisi
    • Prosa
  • Liputan
    • Warta
    • Liputan Khusus
  • Kirim Artikel
Pataka Eja
  • Beranda
  • Cakrawala
    • Opini
    • Esai
    • Resensi
  • Sastra
    • Puisi
    • Prosa
  • Liputan
    • Warta
    • Liputan Khusus
  • Kirim Artikel
No Result
View All Result
  • Login
Pataka Eja
No Result
View All Result
Home Opini

Rewako Gowa; Dari Pekikan Pemuda ke Fondasi Kebudayaan

Muhammad Sahran by Muhammad Sahran
29 September 2025
in Opini
0
Img

Oleh: Risal (Ketua Umum HIPMA Gowa Bontomarannu)


Kabupaten Gowa dikenal sebagai salah satu daerah yang memiliki sejarah panjang serta khazanah kearifan lokal yang berlimpah. Identitas kultural ini bukan hanya sekedar bagian dari masa lalu, namun juga cermin dari sebuah peradaban yang pernah berjaya dan masih menyisakan pengaruhnya hingga saat ini.

Namun, pertanyaan yang patut diajukan adalah apakah warisan luhur ini benar-benar hidup dalam denyut masyarakat Gowa hari ini, atau sekadar berhenti pada slogan yang digemakan tanpa makna mendalam?

“Rewako Gowa” sebuah slogan yang kerap didengungkan oleh kalangan pemuda dan pemudi gowa. Sebuah Istilah yang dipahami sebagai seruan keberanian, semangat melawan, dan tekad pantang menyerah. Namun, jika dimaknai sebatas jargon kosong, “Rewako Gowa” berisiko kehilangan substansi filosofisnya.

Sejarah menunjukkan bahwa masyarakat Gowa sejatinya adalah manusia yang santun, arif dan bijaksana. Prinsip Siri’ na Pacce adalah fondasi karakter yang diwariskan oleh tokoh-tokoh besar seperti Muhammad Bakir I Mallombasi Daeng Mattawang Karaeng Bonto Mangngape Sultan Hasanuddin Tuminanga ri Balla Pangkana, Tuanta Salamaka Syekh Yusuf, dan Karaeng Pattingalloang. Mereka tidak hanya mengandalkan keberanian, tetapi juga menjunjung tinggi nilai intelektual, spiritual, dan moral.

Sayangnya, dalam praktik kekinian, budaya dan adat istiadat Gowa sering kali diposisikan hanya sebagai pelengkap dalam agenda seremonial. Pemerintah daerah cenderung menghadirkan budaya di panggung perayaan atau upacara adat, tetapi kurang memberi ruang bagi internalisasi nilai-nilainya dalam kehidupan masyarakat sehari-hari.

Regulasi yang berkaitan dengan kebudayaan masih bersifat normatif, dan belum sepenuhnya menyentuh aspek pendidikan, tata kelola pemerintahan, maupun ekonomi berbasis kearifan lokal. Tradisi hadir dengan gegap gempita saat hari jadi daerah atau dalam event tertentu, lalu kembali redup tanpa tindak lanjut yang jelas.

Padahal, Gowa memiliki basis kearifan yang sangat kaya. Kelong, Rapang, dan Pappasang bukan hanya karya sastra atau folklor semata, melainkan pedoman hidup yang menekankan kecerdasan, keberanian, harga diri, dan kearifan. Nilai-nilai tersebut semestinya direvitalisasi, lalu diintegrasikan dalam kurikulum pendidikan dan peraturan daerah. Dengan demikian, generasi muda tidak hanya mengenang Gowa sebagai kerajaan besar masa lalu, tetapi juga melihatnya sebagai daerah yang mampu berdiri teguh di tengah derasnya arus globalisasi.

Generasi muda Gowa tentu membutuhkan lebih dari sekadar slogan yang lantang diteriakkan. Mereka butuh contoh nyata, kebijakan nyata, dan ruang aktualisasi yang memberi arah pada semangat keberanian mereka. “Rewako Gowa” semestinya tidak berhenti pada makna kabaraniang (keberanian), tetapi juga memupuk panrita (kearifan) agar keberanian itu tidak melahirkan kesiasiaan. Di sinilah tanggung jawab pemerintah daerah seharusnya hadir membangun strategi kebudayaan yang berkelanjutan, bukan sekadar mengutip slogan dalam pidato-pidato seremonial.

Jika pemerintah berani menempatkan budaya sebagai fondasi utama pembangunan, maka Gowa berpeluang besar menjadi model daerah yang harmonis antara tradisi dan modernitas. Namun, tanpa keseriusan politik kebudayaan, semua itu hanya akan menjadi mimpi yang pudar. Slogan “Rewako Gowa” akan kehilangan gema, teredam oleh kepentingan praktis yang mengabaikan akar sejarah dan identitas.

Maka, sudah saatnya pemerintah daerah bersama masyarakat menafsirkan ulang “Rewako Gowa”. Bukan lagi sekadar pekikan keberanian, tetapi sebuah panggilan untuk menghidupkan kembali nilai-nilai kearifan, menjaga warisan leluhur, dan menempatkannya sebagai penopang masa depan. Sebab hanya dengan cara itulah Gowa dapat terus bermartabat, berperadaban, dan tetap relevan di tengah zaman yang terus berubah.

ShareTweetShareSendSend

Artikel Lainnya

Images
Opini

UINAM Value I: Video Klarifikasi Rektor Tentang SE 2591 Tak Ubahnya Pertunjukan Stand Up Comedy!

31 Agustus 2024
213
Img 20250824 Wa0037
Opini

SANKSI CHAT MESUM REKTOR UNM

24 Agustus 2025
223
Whatsapp Image 2025 08 18 At 02 28
Opini

Makassar Terbakar: Saat Demokrasi Retak, Orde Baru Mengintai

30 Agustus 2025
86
Hgj
Opini

For the Younger Generation: Refleksi pengetahuan antara miris atau teriris?

8 Juli 2024
31

Rubrik

Esai Liputan Khusus Opini Prosa Puisi Resensi Uncategorized Warta
Pataka Eja

© Dari Narasi Menuju Aksi

Lebih lanjut

  • Tentang Kami
  • Kontak
  • Kirim Artikel

Ikuti kami

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
  • Login
  • Beranda
  • Cakrawala
    • Opini
    • Esai
    • Resensi
  • Sastra
    • Puisi
    • Prosa
  • Liputan
    • Warta
    • Liputan Khusus
  • Kirim Artikel

© Dari Narasi Menuju Aksi