Oleh: Risal (Ketua Umum HIPMA Gowa Bontomarannu)
Kabupaten Gowa dikenal sebagai salah satu daerah yang memiliki sejarah panjang serta khazanah kearifan lokal yang berlimpah. Identitas kultural ini bukan hanya sekedar bagian dari masa lalu, namun juga cermin dari sebuah peradaban yang pernah berjaya dan masih menyisakan pengaruhnya hingga saat ini.
Namun, pertanyaan yang patut diajukan adalah apakah warisan luhur ini benar-benar hidup dalam denyut masyarakat Gowa hari ini, atau sekadar berhenti pada slogan yang digemakan tanpa makna mendalam?
“Rewako Gowa” sebuah slogan yang kerap didengungkan oleh kalangan pemuda dan pemudi gowa. Sebuah Istilah yang dipahami sebagai seruan keberanian, semangat melawan, dan tekad pantang menyerah. Namun, jika dimaknai sebatas jargon kosong, “Rewako Gowa” berisiko kehilangan substansi filosofisnya.
Sejarah menunjukkan bahwa masyarakat Gowa sejatinya adalah manusia yang santun, arif dan bijaksana. Prinsip Siri’ na Pacce adalah fondasi karakter yang diwariskan oleh tokoh-tokoh besar seperti Muhammad Bakir I Mallombasi Daeng Mattawang Karaeng Bonto Mangngape Sultan Hasanuddin Tuminanga ri Balla Pangkana, Tuanta Salamaka Syekh Yusuf, dan Karaeng Pattingalloang. Mereka tidak hanya mengandalkan keberanian, tetapi juga menjunjung tinggi nilai intelektual, spiritual, dan moral.
Sayangnya, dalam praktik kekinian, budaya dan adat istiadat Gowa sering kali diposisikan hanya sebagai pelengkap dalam agenda seremonial. Pemerintah daerah cenderung menghadirkan budaya di panggung perayaan atau upacara adat, tetapi kurang memberi ruang bagi internalisasi nilai-nilainya dalam kehidupan masyarakat sehari-hari.
Regulasi yang berkaitan dengan kebudayaan masih bersifat normatif, dan belum sepenuhnya menyentuh aspek pendidikan, tata kelola pemerintahan, maupun ekonomi berbasis kearifan lokal. Tradisi hadir dengan gegap gempita saat hari jadi daerah atau dalam event tertentu, lalu kembali redup tanpa tindak lanjut yang jelas.
Padahal, Gowa memiliki basis kearifan yang sangat kaya. Kelong, Rapang, dan Pappasang bukan hanya karya sastra atau folklor semata, melainkan pedoman hidup yang menekankan kecerdasan, keberanian, harga diri, dan kearifan. Nilai-nilai tersebut semestinya direvitalisasi, lalu diintegrasikan dalam kurikulum pendidikan dan peraturan daerah. Dengan demikian, generasi muda tidak hanya mengenang Gowa sebagai kerajaan besar masa lalu, tetapi juga melihatnya sebagai daerah yang mampu berdiri teguh di tengah derasnya arus globalisasi.
Generasi muda Gowa tentu membutuhkan lebih dari sekadar slogan yang lantang diteriakkan. Mereka butuh contoh nyata, kebijakan nyata, dan ruang aktualisasi yang memberi arah pada semangat keberanian mereka. “Rewako Gowa” semestinya tidak berhenti pada makna kabaraniang (keberanian), tetapi juga memupuk panrita (kearifan) agar keberanian itu tidak melahirkan kesiasiaan. Di sinilah tanggung jawab pemerintah daerah seharusnya hadir membangun strategi kebudayaan yang berkelanjutan, bukan sekadar mengutip slogan dalam pidato-pidato seremonial.
Jika pemerintah berani menempatkan budaya sebagai fondasi utama pembangunan, maka Gowa berpeluang besar menjadi model daerah yang harmonis antara tradisi dan modernitas. Namun, tanpa keseriusan politik kebudayaan, semua itu hanya akan menjadi mimpi yang pudar. Slogan “Rewako Gowa” akan kehilangan gema, teredam oleh kepentingan praktis yang mengabaikan akar sejarah dan identitas.
Maka, sudah saatnya pemerintah daerah bersama masyarakat menafsirkan ulang “Rewako Gowa”. Bukan lagi sekadar pekikan keberanian, tetapi sebuah panggilan untuk menghidupkan kembali nilai-nilai kearifan, menjaga warisan leluhur, dan menempatkannya sebagai penopang masa depan. Sebab hanya dengan cara itulah Gowa dapat terus bermartabat, berperadaban, dan tetap relevan di tengah zaman yang terus berubah.




